Dalam rangka memperingati 62 tahun kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2007 ini kami menyajikan saduran artikel yang kami peroleh dari sebuah milist berjudul "Islam Membangun Kesatuan Bangsa" Oleh Irfan Anshory.
Semoga membangkitkan kembali gelora kesadaran kita dalam berbangsa dan bernegara.
MERDEKA...!!!
DALAM Alquran Surat Ibrahim ayat 34, Allah SWT berfirman: wa in ta'udduu ni'mata lLaahi laa tuhshuuhaa ("Dan jika seandainya engkau hendak menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya tidaklah engkau mampu menghinggakannya").
Di antara nikmat Allah yang tak terhingga banyaknya itu, nikmat yang paling besar bagi kita bangsa Indonesia adalah masuknya agama Islam ke tanah air kita beberapa abad yang silam.
Islam menyebar tidak melalui kekerasan, melainkan secara damai, disebarkan oleh para pedagang, dan para ulama yang tidak tercatat dalam buku sejarah. Islam membawa gelombang modernisasi ke dalam masyarakat kita, yang saat itu masih terkungkung dalam kepercayaan animisme dan politeisme, serta terhambat oleh stagnasi feodalisme dengan struktur kasta-kasta yang diskriminatif.
Dengan bangga kita katakan bahwa ajaran Islamlah yang mula-mula menanamkan rasa kesatuan kebangsaan yang ada sekarang. Islamlah yang pertama kali mempersatukan suku-suku bangsa yang berserak tersebar di seluruh Nusantara, 500 tahun sebelum dikumandangkannya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Berkali-kali sejarah menunjukkan bahwa orang Islam dari suatu daerah dapat menjadi orang besar di daerah lain, meskipun pada masa itu paham "nasionalisme Indonesia" belum dikenal. Hal ini karena ajaran Islam menekankan bahwa kehidupan adalah iman dan amal saleh yang didasari takwa kepada Allah. Kepada orang tidaklah dipersoalkan apa bangsa dan sukunya, yang diperhatikan lebih dahulu adalah amal baktinya.
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Kesultanan Demak. Di zaman Sultan Trenggono, datanglah seorang ulama dan ahli perang dari Aceh. Itulah Fatahillah, yang diangkat menjadi panglima perang Demak, menggempur armada Portugis di Sunda Kalapa, lalu mendirikan Kota Jakarta. Ini baru satu contoh bahwa benih-benih persatuan bangsa telah ditanamkan Islam sejak abad ke-16! Tidak usah heran jika Ki Geding Suro, bangsawan Demak yang pergi ke Palembang, diterima dan diangkat menjadi
raja pertama dari Kesultanan Palembang.
Pati Unus (sebutan Portugis untuk Adipati Yunus) dari Demak, mengirimkan angkatan lautnya untuk mengusir Portugis yang telah menaklukkan Malaka. Sayang sekali bala bantuan itu gagal, karena kedudukan Portugis sudah terlalu kuat. Sekalipun demikian, pengharapan akan bantuan dari saudara-saudaranya di Jawa tetaplah tinggal dalam jiwa anak Melayu, sehingga timbul dari bibir mereka satu pantun: Jika jatuh Kota Melaka,
mari di Jawa kita dirikan, jika sungguh bagai dikata, badan dan nyawa saya serahkan. Pantun ini telah beratus tahun menjadi dendang anak Melayu sampai sekarang.
Sebaliknya, orang-orang Melayu yang terpaksa meninggalkan negerinya yang diduduki Portugis mengembara sampai ke Kalimantan dan Sulawesi sambil menyebarkan Islam. Mereka dihormati sebagai saudara sesama Muslim.
Demikian juga setelah Kerajaan Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan menerima Islam pada awal abad ke-17, ulama-ulama Minangkabau dan Jawa Timur diterima dengan tangan terbuka.
Ketika pengaruh Belanda masuk di Kerajaan Mataram, memberontaklah Trunojoyo, pahlawan dari Madura, terhadap Sunan Amangkurat I. Karaeng Galesong dari Makassar menggabungkan diri dengan Trunojoyo untuk melawan Belanda. Tidak dikaji lagi apakah dia orang Madura atau Makassar, karena mereka telah diikat oleh akidah yang sama. Meskipun bahasa Madura lain dengan bahasa Makassar, mereka bertemu dalam bahasa Melayu yang telah berkembang pada saat itu sebagai bahasa persatuan di Nusantara.
Syekh Yusuf Tajul-Khalwati ulama Makassar mengembara ke Banten, diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa menjadi mufti kesultanan, dan bersama-sama berjuang melawan Belanda. Si Untung diberi gelar Surapati oleh Sultan Cirebon dan diberi gelar Wironegoro oleh Sultan Mataram. Dia asalnya budak dari Bali, tetapi karena dia telah Islam dan berjuang melawan Belanda, dia diterima menjadi bangsawan Jawa.
Tatkala usai Perang Diponegoro di Jawa, Belanda mengirim Sentot Ali Basyah ke Minangkabau untuk memerangi kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Sesampainya di Minangkabau Sentot segera berbalik arah dan bersekutu dengan kaum Paderi, demi dilihatnya yang dihadapinya adalah saudara-saudaranya seagama.
Lalu tokoh-tokoh GAM sekarang yang mungkin belum sepenuh hati bergabung ke pangkuan Republik Indonesia, hendaklah ingat bahwa beberapa sultan Aceh ada yang berdarah Melayu atau Bugis, bahkan ada juga yang keturunan Arab.
Semua yang kita uraikan ini bukanlah dongeng yang dibuat-buat, tetapi fakta-fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Karena, Islam memang tidak membedakan apakah seseorang itu sultan dari Aceh ataukah budak dari Bali ataukah penjelajah lautan dari Bugis. Yang dihitung bukan darah dan keturunannya, tetapi bakti, takwa, dan tujuan hidupnya.
Inna akramakum 'inda l-Laahi atqaakum. "Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di
sisi Allah adalah yang paling takwa."
Meskipun setiap suku bangsa mempunyai bahasa dan aksara sendiri-sendiri, mereka memakai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Sebagai aksara persatuan, mereka mengambil huruf Arab. Karena, huruf Arab tidak memiliki fonem nga, nya, ca, dan ga, maka 'ain diberi tiga titik menjadi nga; nun diberi tiga titik menjadi nya; jim diberi tiga titik menjadi ca; dan kaf diberi satu titik menjadi ga.
Dengan demikian, seluruh suku bangsa dari Aceh sampai Papua berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama. Cuma sayangnya, huruf yang pernah menjadi huruf persatuan Nusantara itu sekarang tidak terpelihara lagi. Di Malaysia huruf itu disebut huruf Jawi, tetapi di Jawa disebut huruf Melayu. Rupanya orang Melayu lempar ke Jawa, orang Jawa lempar ke Melayu, akhirnya tenggelam di Selat Malaka!
Selain menanamkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, ajaran Islam juga telah menanamkan modal yang paling besar dalam menentang imperialisme dan kolonialisme. Kekuatan jiwa untuk melawan penjajah, meskipun kekuatan senjata kadang-kadang tidak seimbang, disemangati oleh ajaran iman dan tauhid. Hampir semua pahlawan-pahlawan besar dalam sejarah perjuangan bangsa kita dibangkitkan oleh Islam. Jika kita susun
nama-nama pahlawan, baik kalangan bangsawan maupun rakyat jelata, niscaya Islamlah dasar perjuangan sebagian besar mereka.
Sultan Agung Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Aceh, Sultan Hasanuddin Makassar, Sultan Mahmud Badaruddin Palembang, Sultan Khairun dan Babullah Ternate, dan lain-lain. Tidak ada semangat lain yang mendorong mereka berjuang melawan penjajah melainkan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan
Allah).
Kemudian deretkanlah nama-nama yang kita agung-agungkan: Pangeran Abdulhamid Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Raden Intan, Teuku Umar Johan Pahlawan, Teuku Cik di Tiro, Kyai Mojo, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, Kyai Tapa, Ratu Bagus Buang, Panglima Polim, srikandi-srikandi Cut Nyak Din dan Cut Meutia, dan lain-lain.
Masih banyak lagi para syuhada' yang kekurangan tempat kalau disebutkan semuanya. Ternyata cahaya imanlah yang memancar dari lubuk sanubari mereka sehingga rela tampil melawan penjajah.
Bagaimanakah dengan pahlawan Pattimura dari Maluku yang beragama Kristen? Kalau orang membicarakan Pattimura, orang tidak dapat menghapus nama Sayid Parintah, ulasma Islam dari Saparua yang merupakan guru dari Pattimura. Dialah yang mengobarkan semangat Pattimura melawan penjajah, sehingga kedua-duanya sama-sama naik tiang gantungan.
Tahun 2007 sekarang kita mengenang gugurnya pahlawan dari Tanah Batak, Si Singamangaraja XII. Beliau seorang Muslim, dikhitan dengan upacara adat di istana Bakkara, cap kerajaannya yang masih tersimpan bertuliskan huruf Batak dan huruf Arab yang bertarikh 1304 Hijriyah. Pada pertengahan abad ke-19, Belanda membuka pintu selebar-lebarnya bagi zending dan missi untuk berusaha mengkristenkan Tanah Batak, supaya terpecah dua kekuatan Islam di Sumatra, yaitu Aceh dan Minangkabau.
Tahun 1865 pendeta Nommensen berhasil membaptis Raja Pontas Lumbantobing di Silindung. Maka tahun 1872 Raja Si Singamangaraja XII melancarkan jihad terhadap Belanda dan sekutu-sekutu lokalnya, sampai dia syahid tahun 1907, tepat 100 tahun yang silam.
Kalau kita tinjau kebangkitan nasional awal abad ke-20, sebenarnya tidaklah tepat kalau dikatakan dimulai dari organisasi Budi Utomo, yang bersifat lokal kejawaan dan dianggap "anak manis" oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemimpin nasional yang pertama-tama disambut oleh masyarakat di seluruh tanah air bukanlah Dr.Wahidin Sudirohusodo, melainkan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Syarikat Islam.
Organisasi Syarikat Islam inilah, dengan semboyan "kerso, kuwoso, mardiko", yang pantas disebut pelopor kebangkitan nasional, sebab dalam kongresnya di Bandung tahun 1916 telah menyuarakan "kemerdekaan Hindia" dan para aktivisnya berasal dari berbagai suku, seperti Haji Agus Salim dari Minangkabau, Aruji Kartawinata dari Sunda, dan Abdul Muttalib Sangaji dari Maluku.
Lalu pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan kita yang masih muda, ajaran Islamlah yang mengobarkan jiwa seorang aktivis Pemuda Muhammadiyah memimpin angkatan perang Republik Indonesia melakukan perang gerilya. Itulah Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang tidak mengenal menyerah, sekalipun Presiden Soekarno sendiri sudah mengangkat bendera putih kepada Belanda. Kemudian kalimah takbir Allahu Akbar yang dikumandangkan oleh Bung Tomo melalui siaran radionya, itulah yang
menggerakkan rakyat berbondong-bondong datang ke Surabaya untuk bertempur melawan Inggris dan NICA 10 November 1945, yang setiap tahun kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Pada era Orde Baru, kita pernah merasakan adanya usaha-usaha yang mencoba untuk mengesampingkan peranan Islam dalam negara ini, agar orang Islam lupa akan sejarahnya sendiri. Kalaulah ada yang berusaha menonjol-nonjolkan Islam, maka datanglah tuduhan: ekstrim kanan! Supaya umat Islam tidak perlu lagi menyebut-nyebut Demak dan Walisongo. Yang perlu diingat ialah Mahapatih Gajah Mada. Lalu dihidupkan kembali suasana jahiliyah, mistik, primbon, wangsit, dan dikatakan inilah kepribadian asli Indonesia.
Dalam era reformasi sekarang, sekali-sekali masih terdengar juga wacana aneh yang mencoba mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan. Masih ada saja suara usil yang mengatakan bahwa pelaksanaan syariat Islam bertentangan dengan Pancasila dan dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal, ajaran Islamlah yang paling besar sahamnya dalam mewujudkan kesatuan bangsa ini sejak berabad-abad sebelum "Sumpah Pemuda".
Janganlah lupa bahwa istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang merupakan sila pertama dalam Pancasila kita merupakan usulan Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, ketika rumusan Pancasila difinalkan pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi. Sudah tentu, Ki Bagus Hadikusumo bukan mendapatkannya dari yang lain-lain, tetapi dari akidah Islam La ilaha illa llah (Tiada Tuhan melainkan Allah) dan Qul huwa llahu ahad (Katakanlah: Dia Allah Yang Maha Esa).
Sadar atau tidak sadar, dalam menyusun perlengkapan negara ini kita banyak mengambil dari perbendaharaan istilah Islam, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Masyarakat Adil Makmur, dan sebagainya. Mana kata yang bukan bahasa Alquran? Cuma imbuhannya saja yang asli dari nenek-moyang. Kelihatannya ini hal yang sepele. Tetapi, mengapa kita memakai istilah-istilah ini?
Karena itulah, yang sesuai dengan selera bangsa Indonesia. Kapankah selera itu tertanam? Masya Allah, bukan kemarin, bukan sejak 17 Agustus 1945 atau 28 Oktober 1928, tetapi sudah beratus-ratus tahun jiwa Islam itu sudah tertanam dalam tubuh sebagian besar bangsa kita.
Marilah kita resapkan dalam-dalam bunyi alinea ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Read More...
Summary only...