Saturday, February 10, 2007

Kerelawanan Berbasis Masjid

Jumat, 09 Februari 2007, Dialog Jum'at Republika Online

Mungkin banyak orang tak mampu membangun rumah, tetapi beramai-ramai bisa membangun masjid. Bahkan saya punya kenalan, rumahnya masih mengontrak tapi tak menghalanginya menjadi panitia pembangunan tiga masjid kampung di kecamatan Sawangan, Depok. Tak sedikit pemukiman yang kebanyakan warganya tinggal di rumah semi permanen, punya masjid swadaya yang bagus.

Di kabupaten Bolang Mongondow (Sulawesi Utara), warganya punya tradisi kalau membangun masjid, tiap kepala keluarga ditetapkan angka tertentu yang dicicil selama beberapa bulan, yang angkanya dibedakan berdasarkan ‘kelas ekonomi’ jamaah.

Di Jayapura, sebuah masjid yang dibangun zaman Orde Lama, peletakan batu pertamanya ditanam almarhum Jenderal (Purn) Nasution. Masjid itu tidak disumbang uang tetapi material berupa kayu hutan, anyaman dedaunan, dan tukang amatir muslim setempat.

Di Kalimatan Tengah dan Barat jauh sebelum pecah kerusuhan antar etnik, sudah berdiri banyak masjid, dibangun warga keturunan Madura. Masjid terbangun, meski kebanyakan mereka ekonomi lemah, hidup dari sektor informal.

Beberapa contoh ini menunjukkan, banyak orang terpanggil beramal jariyah, berfilantropi jauh sebelum isu ini kembali dibuat ‘seksi’ belakangan ini. Manajemen masjid, dibalut keikhlasan, transparansi, juga semangat mengabdi. Pengurus masjid, figur relawan sejati yang selalu siap memakmurkan masjid. Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) ada di tempat terhormat: menjadi imam shalat, tempat merujuk dan menimba kebijaksanaan, motivator, minimal pembaca doa. Tapi, ia juga bisa berada di bawah, tempo-tempo ia merapikan karpet sendiri, menyapu lantai masjid, menyiapkan mikropon dan membereskannya seusai muharaman bubar. Tak pernah ada yang menyuruh, tak perlu gengsi saat melakukan semua itu demi melayani jamaah.

Inilah sejatinya bibit pengoptimalan peran masjid, terlebih di zaman ‘panen cobaan’ yang dilingkupi alam pikir sarwa materi. Masjid juga menjadi kawasan netral partai, netral ormas/orpol. Hidup matinya masjid, tidak atas perintah siapa-siapa. Kesadaran adalah landasan geraknya. Masjid juga bukan persemayaman penguasa, meski pernah ada debat-debat antar kelompok Islam yang memakai kosa kata ‘penguasa masjid atau ‘rebutan masjid’. Pendeknya, masjid potensial sebagai basis kerelawanan.

Apa gunanya masjid? Meski sudah berbilang kali diceramahkan para mubalig, bahwa masjid adalah pusat kebudayaan (bahkan peradaban) Islam, paling banyak masjid dipakai sebatas sebagai tempat shalat. Satu dua, menambahkannya dengan kegiatan pendidikan dan ekonomi syariah, malah ada yang begitu megah dan menyiapkan business center. Semua, oke saja. Bagaimana perannya di masa bencana? Apakah masjid cukup memberi ruang kerelawanan? Semua pengurus masjid pasti bilang, aktivitas masjid sarat kerelawanan. Itu benar, namun tidak menjamin kerelawanan an sich, tanpa manajemen, bisa efisien dan efektif ketika dihadapkan pada situasi bencana.

Kerelawanan perlu manajemen. Proses rekruitmen, pembekalan, merawat, penerjunan, monitoring dan evaluasi, menghargai, dan meningkatkan kapasitas kerelawanan, adalah soal manajemen. Tanpa itu kerelawanan tak punya daya ubah yang signifikan. Sebagai inspirasi, sebut saja The American Red Cross (TARC) usianya sudah 125 tahun. Sampai tahun lalu sudah beraksi di 72,883 bencana, kebanyakan bencana kebakaran, melibatkan satu juta relawan dengan 35 ribu pengelola tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Dengan manajemen dan sistem informasi yang rapi, hampir empat juta orang ikhlas menyumbangkan darahnya.

Pada dasarnya, kerelawanan berbasis masjid, relatif ringan beban psikologisnya, berbeda dengan pendahulu kita non-Islam yang merasa perlu menjadi universalis dulu, berlepas diri dari sekat organisasi keagamaannya saat berdakwah di tataran kemanusiaan. Ini karena masjid di Indonesia, adalah masjid untuk semua. Bayangkan saja, data Dewan Masjid Indonesia tahun lalu saja menyebutkan, di Indonesia ada tidak kurang dari 700 ribu masjid. Ini terbesar di antara negara-negara Islam di dunia. Ketika relawan dalam jumlah besar, digerakkan untuk sebuah aktivitas simultan.,

Masjid mana mau memulai pengelolaan kerelawanan? Mungkin dimulai dari pelatihan dasar manajemen kerelawanan, jurnalistik kemanusiaan untuk organisasi masjid karena organisasi umat banyak yang lemah dalam mengemas laporan (bahkan mengemas kegiatan pun masih Dalam interaksi tak kurang dari satu dasawarsa bersama lembaga zakat (beberapa diantaranya bermitra dengan masjid), kerelawanan masih difahami sebagai relawan yang “membawa badan

Tanpa meremehkan peran itu, jarang yang bisa memberi ruang relawan yang lebih beragam keahliannya, bahkan ada yang ketika ditawari untuk dibantu, menolak dengan halus karena tak tahu bagaimana musti menempatkan relawan dalam kerja-kerja kemanusiaan yang mereka rancang. Di sebagian lembaga umat, manajemen lebih senang merekrut profesional (komunikasi, aksi medik, manajemen kebencanaan) sebatas sebagai konsultan, tetapi tidak secara terencana menyiapkan ruang untuk menerima bakti relawan ahli. Semua kuncinya pada manajemen. Jangan divonis bid’ah, menempelkan manajemen modern dalam mengelola kerelawanan masjid. Justru ini wajib, karena sikap mubazir disukai setan; dan pengorganisasian itu meminimalisir pemborosan.

Masjid adalah bayt Allah, rumah Allah. Memperkecil peran masjid (sebatas ritual) berarti menjauhkan masjid dari peran sejatinya. Apalagi, bagi yang sengaja menjauh dari masjid, lewat aparat masjid bernama air (banjir), masjid “menarik kita” bernaung di dalamnya. Menanti air surut sembari bermunajat, bersyukur masih diberi-Nya waktu, bersimpuh di rumah-Nya. Sayang, tak banyak relawan di sana yang bersiap diri menyambut tamu-tamu yang dengan perantaraan banjir. Masjid mana mau memulai pengelolaan kerelawanan?

Oleh:Iqbal Setyarso ,motivator sosial ( tri )