Friday, March 09, 2007

Etika Dalam Pengelolaan Masjid

08 Feb 07 18:34 WIB, WASPADA Online

Oleh : Ziaulhaq

Masjid sebagaimana umumnya dipahami merupakan sarana media komunikasi dengan Tuhan dengan jalan pelaksanaan serangkaian ibadah di dalamnya (Q.S. 72: 18) yang dibuktikan dengan jelas terlihat bahwa hampir semua secara totalitas aktiftas ibadah selalu dilakukan di masjid, sehingga tidak mengherankan ada asumsi sebagian masyarakat bahwa masjid tersebut adalah tempat suci yang sama suci dengan pelaksanaan ibadah itu sendiri di dalamnya.

Selain itu juga masjid juga memiliki nilai sosial yang diharapkan mampu sebagai sarana lem perekat dan pemersatu umat dengan dilaksanakannya serangkaian kegiatan keagamaan bertujuan untuk mampu menyatukan kelas sosial yang berbeda di masyarakat. Sehingga tentunya pada posisi ini masjid sebagai sarana sangat tergantung kepada motif seseorang sebagaimana tidak jarang ditemukan adanya sebagian kalangan memanfaatkan masjid sebagai sarana kepentingan individu tertentu, seperti mandi, buang hajat, dan lainnya bahkan sampai kepada mengambil keuntungan pribadi yang jelas sangat bertentangan dengan prinsip dasar pembangunan masjid yang didasarkan kepada kepentingan umat dan kemanusiaan menyeluruh untuk terbangunnya sarana yang mampu menjembatani kemaslahatan bersama.

Sejalan dengan itu dalam Al-Quran sendiri disebutkan bahwa masjid merupakan tempat yang paling banyak disuarakan Asma Tuhan (Q.S. 22:40), sekaligus juga dijadikan sebagai tempat pembinaan pribadi dan jama'ah Islam (Q.S. 9: 108-109), dan tempat terjadinya komunikasi rutin sesama jama'ah dengan menjalin tali ukhuah Islamiyah, singkatnya masjid harus berhubungan dengan kepentingan urusan seluruh masyarakat.

Demikian tentunya apa yang dirintis Nabi dan yang ditegaskan Al-Quran tersebut mengindikasikan bahwa tidak adanya pemisahan antara kepentingan ibadah dengan pelaksanan teknis keduniaan, akan tetapi perlu ditegaskan bahwa berbeda halnya dengan sengaja menjadikan masjid sebagai sarana untuk mendatangkan keuntungan semata sebagaimana yang dapat kita saksikan bahwa para pengelola masjid ada yang sengaja membiarkan orangnya untuk mengambil keuntungan pribadi yang tidak jarang dengan sikap kasar bahkan dengan nada memaksa kepada orang lain untuk memberikan sumbangan tentunya yang sangat bertentang dengan ajaran Islam dalam etika pengelolaan masjid.

Melihat realitas inilah tulisan ini terangkat sebagai upaya untuk kembali menegakkan etika dalam pengelolaan masjid yang mana minimal nantinya akan dapat menghindarkan terjadinya komersialisasi masjid dari segala bentuk kepentingan yang mencari keuntungan semata (profit oriented), dan menghindarkan munculnya opini masyakat bahwa masjid bukanlah tempat yang nyaman untuk didatangi dengan kembali mereposisikan pengelolan yang beretika didasarkan kepentingan kemanusiaan secara menyeluruh tanpa harus ada pihak tertentu saja yang diuntungkan, melainkan harus juga dirasakan masyarakat luas.

Etika dalam Pengelolaan Masjid

Masjid secara literal berarti tempat sujud yang tentunya dimaksudkan adalah pelaksanaan sujud yang terangkum dalam pelaksanaan ibadah sebagai implementasi dari penyembahan kepada Tuhan, atau juga dapat diartikan secara lebih umum sebagai bagunan yang hanya diperuntukkan untuk umat Islam berkumpul dalam melaksanaan ibadah khususnya yang terangkum dalamnya rukun terpentingnya adalah ruku' dan sujud, seperti shalat. Selain itu juga sebenarnya tempat sujud tersebut tidak hanya terikat kepada masjid semata melainkan lebih luas lagi semua muka bumi ini adalah tempat untuk sujud (H.R. Al-Bayhaqi) yang dapat dikategorikan masjid secara lebih luas.

Sedangkan untuk membedakan masjid dengan semua muka bumi sebagai tempat sujud adalah bahwa masjid dibangun atas dasar kepentingan ibadah dan kemaslahatan umum yang sangat jelas bertentangan apabila hanya dijadikan untuk mengambil keuntungan pribadi, karena kepentingan pribadi hanya didasarkan kepada pelaksanaan teknis semata yang tidak jarang terkadang mendatangkan kerugian bagi orang lainnya sebagaimana misalnya ada sebagian masjid yang memanfaatkan sarana masjid sebagai objek keutungan, seperti membuat perparkiran kenderaan hingga sepatu dan sandal yang membuat semacam komitmen bahwa dalam pelaksanaan ibadah seorang harus dipaksa untuk membayar jasa yang telah disediakan.

Kesan ini memunculkan stigma bahwa masjid bukanlah tempat yang aman lagi untuk didatangi, karena harus mengeluarkan uang untuk menjaga keamanan benda yang dimiliki, atau ada asumsi lain yang muncul bahwa hanya orang yang memiliki uanglah yang mendapatkan keamanan dalam masjid, selain itu juga nampaknya dari pihak penjaga keamanan sendiri tidak menunjukkan sikap seorang yang melaksanakan ibadah sangat jelas terlihat pada saat pelaksanaan shalat hanya disibukkan untuk mengatur barang jama'ah yang sedang melaksanakan shalat, sehingga dengan adanya komersialisasi masjid sangat berpotensi untuk menghalangi orang untuk mendatangi masjid yang oleh Al-Quran dipandang sebagai suatu kesalahan besar (Q.S. 22: 25).

Melihat gejala ini tentunya sangat tidak mungkin akan terjadi pengusiran dilakukan oleh pihak pengelola masjid akan orang-orang yang dianggap tidak seide dengan pendapatnya, karena hanya didasarkan kepada sentimen tertentu jelas merupakan dosa besar (Q.S. 2: 217), sehingga tentunya bahwa masjid harus dijauhkan dari segala macam bentuk pengunggulan pihak tertentu apalagi hal ini sering dipicu oleh pemahaman keagamaan inklusif yang sangat sulit untuk melihat berbedaan pemikiran keagamaan sebagai sesuatu yang logis dan akan sangat kontradiktif dengan fungsi masjid sebagai upaya penyatu ukhuah Islamiyah dalam bingkai keragamaan.

Tidak kondusifnya kondisi pengelolaan masjid sangat mempengaruhi prestasi ibadah yang dilakukan di dalamnya sebagaimana umumnya bahwa ibadah lebih sering dilakukan dalam bentuk serimonial yang tentunya tidak mampu mempengaruhi jiwa pelaksananya, untuk itulah kiranya tentunya Al-Quran sendiri tidak terlalu berlebihan kalau memberikan kriteria bahwa orang yang berhak untuk mengelola masjid adalah orang yang bertakwa (Q.S . 8: 34), karena dengan semangat ketakwaanlah yang mampu mengelola masjid.

Selain itu juga pengelolaan masjid tidak semestinya bersifat kaku hanya mengharapkan sumbangan dan infak jama'ah semata, melainkan juga dapat memanfaatkan sarana masjid untuk melakukan peningkatan kas masjid, seperti penyewaan tenda, meja dan kursi yang dimiliki masjid yang keuntungannya harus diperuntukkan kepada kepentingan masjid minimal dana operasionalnya tidak lagi tergantung kepada tabungan yang biasanya dibuat pada pelaksanaan shalat jum'at. Sehingga untuk menghindari terjadinya komersialisasi masjid dari pihak tertentu diperlukannya pengelolaan masjid yang didasarkan niat ikhlas semata-mata untuk kemakmuran kemanusiaan.

Demikian juga untuk membangun masjid yang nyaman dari segala bentuk kepentingan akan dapat mendatangkan kekhusukan dalam beribadah yang merupakan tujuan asasi dari pembangunan masjid itu sendiri sebagai tenda besar penganyom segala bentuk suku dan kecenderungan yang ada dimasyarakat, kemudian juga pengelolaan masjid juga harus bersifat produktif sebagaimana yang telah di gagas Depertemen Agama dengan perencaaan masjid percontohan yang mana nantinya akan dibangun diatas masjid sarana perbelanjaan (Super Market) yang dikelola oleh masjid, tentunya akan sangat memungkin sekali akan sangat berpotensi untuk ikut serta meningkatkan ekomoni masyarakat.

Sehingga apa yang disebut Sidi Gazalba masjid sebagai pusat kebudayaan Islam akan benar terwujud dengan tampilnya masjid yang bukan hanya sebagai media untuk beribadah semata dalam bentuk pelaksanaan formal, melainkan juga mampu memperkokoh sendi masyarakat khususnya bidang ekonomi apabila masjid tersebut benar-benar dikelola dengan arif dan bijaksana, sehingga apa yang menjadi tujuan pendirian masjid akan terwujud secara maksimal dengan terjalinnya komunikasi antara umat Islam yang akan membawa nuansa lebih terpenuhinya kebutuhan masyarakat baik dari sisi kepentingan ibadah hingga aspek peningkatan tarap kehidupan dan perbaikan sosial.

Penutup
Pengelolaan masjid memang harus dijauhkan dari segala bentuk kepentingan pribadi, karena dengan mengedepankan kepentingan pribadi hanya akan menjadi masjid tidak terkelola secara baik dan jelas adanya ditumpangi sahwat untuk menjadikan masjid sebagai sarana mencari keuntungan semata yang akhirnya juga akan berimplikasi terhadap pemaknaan dalam ibadah yang dilakukan menjadi nisbi. Akhirnya sejatinya tentunya masjid harus mampu menjadi sebagai wadah pemersatu umat dengan menghilangkan segala bentuk hal yang dapat menjauhkan masyarakat dengan masjid dengan melakukan pengelolaan yang lebih baik dari sebelumnya diatas kepentingan kemaslahatan umat.

(Penulis adalah Sekretaris Pusat Pemikiran dan Pengkajian Islam (P3I) PPs. IAIN-SU dan Alumni FAI-UISU). (wns)