Saturday, March 10, 2007

Kembali ke Masjid

Jumat, 09 Maret 2007, Dialog Jum'at Republika Online

Anak pengajian. Begitu julukan yang kerap disandangkan pada remaja dan pemuda yang aktif dalam kegiatan keagamaan di masjid.

Entah karena julukan ini bernada meledek atau mencemooh, seiring waktu, jumlah “anak pengajian” ini makin surut. Masjid yang semarak dengan kegiatan keagamaan juga makin sedikit. Di Jakarta saja, ribuan masjid yang ada, kurang dari separonya yang syiarnya terdengar.

Ketua Departemen Studi Dasar Terpadu Nilai Islam (STDNI) Remaja Masjid Sunda kelapa, Desmi Hendri (25 tahun), masjid adalah identitas Muslim. Karenanya, syiar agama Islam didalamnya perlu diperhatikan dan dilestarikan, bukan hanya dari perawatan bangunan fisiknya saja.

“Karena kondisi ideal sebuah masjid sepatutnya dipenuhi gerakan untuk menyemarakkan rumah Allah dengan menghidupkan berbagai macam kegiatan yang dianjurkan Alquran dan hadis,” ujarnya. Di masa lalu, masjid adalah pusat kegiatan umat, seperti dicontohkan Rasulullah SAW.

Apa fungsi masjid di zaman Rasulullah SAW? Penasihat Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Prof Dr Emil Salim, menyatakan, ketika Rasulullah mengembangkan dakwahnya, langkah pertama yang dikerjakan adalah membangun masjid. Masjid pertama yang didirikan Nabi Muhammad adalah Masjid Nabawi, pada tahun pertama hijriah.

Kata Emil, Nabi membangun masjid tidak dalam bentuk mewah seperti kebanyakan masjid dewasa ini. Sangat sederhana sekali. Dinding terbuat dari batu tanah, tiang dari batang kurma, atap dari pelepah kurma. Walaupun masjid dibuat dengan sederhana, di tempat itulah para sahabat, kaya dan miskin memaksimalkan fungsi masjid sebagai tempat musyawarah, pusat pelatihan (militer), pengadilan, pengajian, dan pengajaran. "Jadi, peran masjid saat itu sangat luar biasa," kata Emil, saat melakukan peletakan batu pertama pembangunan masjid di daerah eks transmigrasi di Unit II Tulang Bawang, Lampung.

Masjid saat itu adalah kawah penggemblengan bagi pemuda. "Ikuti dan maksimalkan fungsi masjid seperti yang diajarkan Nabi Muhammad," ujar Emil Salim.

Namun, remaja kini seperti jauh dari masjid. Segelintir saja yang meramaikan syiar masjid. Hendri melihat kondisi masjid yang kian sepi dari kegiatan keagamaan, tidak terlepas dari pengaruh kondisi zaman dan gerakan ghozwul fiqr yang semakin gencar dilakukan musuh-musuh Islam. Kaum Muslim terutama para remaja dan pemudanya terbius dengan kesenangan-kesenangan dunia.

Di satu sisi, kengganan pengurus masjid dalam melibatkan para remaja merupakan salah satu indikator penyebab sepinya masjid. ”Kalau pengurus masjid ada kemauan untuk merangkul remaja-remaja di sekitarnya, insya Allah masjid tersebut akan penuh oleh kegiatan religius,” katanya.

Sebagai pemuda yang cinta masjid, Ading Hermandi juga merasakan kepedihan melihat kondisi masjid di Indonesia . Menurut pengunjung aktif kegiatan RISKA, ia menyayangkan banyak masjid dibangun bermegah-megahan, namun miskin dari kegiatan. ”Sama seperti kondisi masyarakat kita, banyak kaum muda yang hanya berorientasi duniawi dan materi tanpa memikirkan kehidupan akhirat,” kata Ading yang telah menambatkan dirinya di masjid selama 15 tahun lebih, sejak usia belia.

Baik Hendri maupun Ading mengakui tidak sedikit teman yang mencela dirinya lantaran selalu rajin ke masjid. Namun, bagi Hendri hal tersebut tidak terlalu diambil pusing. Niatnya hanya satu yakni tidak mau jauh hatinya dari Allah. ”Cercaan dan ledekan ‘sok alim’ itu mah sudah biasa. Cuek saja,” paparnya.

Gampang, asal ada kemauan
Susahkah mengajak pemuda aktif di masjid? Menurut Munsriati dari Youth Islamic Study Club Masjid Al Azhar, gampang saja, asal ada kemauan dari segenap pengurus. Menurutnya, forum Studi Islam Intensif (SII) dan Bimbingan Studi Alquran (BSQ) yang dibuka setiap enam bulan sekali, selalu diminati remaja. “Anggota baru kami bertambah 500 orang tiap enam bulan,” ujarnya.

Untuk menjaring anggota baru, masing-masing pengurus berkewajiban merekrutnya. Targetnya, 250 orang setiap angkatan. “Tapi praktiknya selalu lebih,” tambah Atiek, panggilan akrab Munsriati.

Kiat lainnya untuk menarik remaja, sambung Atiek, adalah dengan menghadirkan para ustadz gaul yang mampu berkomunikasi dengan para remaja. ''Kita berusaha untuk menghadirkan ustadz-ustadz yang benar-benar bisa masuk ke dalam kehidupan remaja. Jadi, bukan sekadar menghujat,'' tambah Atiek.

Hingga kini, anggota YISC mencapai ribuan. Mereka yang berusia antara 18 sampai 34 tahun aktif mengikuti aneka kegiatan yang dilakukan setiap minggu. Ada kajian keislaman, forum cinta ilmu, kursus bahasa Inggris, dan bimbingan adik asuh. Menurut dia, yang paling penting dari semua itu adalah agar hati pemuda tetap tertambat di masjid. dam/mg01/ant
( tri )