Saturday, March 10, 2007

Isyarat Al-Qur'an Menyatukan Umat Melalui Masjid

01 Mar 07 17:34 WIB, WASPADA Online

Oleh: Drs. Achyar Zein, M.Ag

Independen masjid dalam menampung keberagaman umat dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk merealisasikan cita-cita agama Islam yaitu menebar kebaikan di seluruh penjuru dunia. Gelar yang diberikan oleh Al-Qur’an kepada umat Islam ini dengan sebutan ummatan wahidah (umat yang satu) dan ummatan wasatha (umat penengah) diduga kuat akan dapat terealisasi bila masjid dijadikan sebagai landasan dari setiap perjuangan. Persoalan kiblat dalam ayat ini sudah dianggap selesai melalui pandangan hukum yaitu menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah untuk melakukan sholat. Selain melalui pandangan hukum maka pandangan lain perlu juga untuk diketengahkan agar masjid benar-benar dapat mengakses kehidupan umat. Keterangan ayat di atas yang berkaitan dengan persoalan kiblat memang menyebutkan nama satu masjid yaitu Masjid Al-Haram namun isyaratnya dapat saja digunakan kepada masjid-masjid yang lain.

Masjid adalah institusi keagamaan yang dianggap paling berkompeten untuk mempersatukan umat paling tidak untuk ukuran saat ini. Keberadaannya yang independen memungkinkannya untuk menampung semua atribut-atribut baik atribut politik maupun atribut aliran. Contoh kasus dalam tataran ini adalah keberadaan Masjid Al-Haram dimana semua perbedaan menjadi lebur ketika masuk ke dalamnya. Inilah agaknya salah satu alasan yang membuat Rasulullah senantiasa menengadahkan mukanya ke langit agar Masjid Al-Haram dapat dijadikan kiblat sebagai lambang kesatuan umat. Harapan ini langsung direspon oleh Allah dengan memerintahkan Rasulullah untuk menghadap ke arahnya dan bahkan perintah ini berlaku untuk kurun-kurun waktu selanjutnya. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah ini adalah sebagai isyarat betapa pentingnya kesatuan dan persatuan umat khususnya dalam menegakkan agama Allah.

Respon ini tidak seharusnya disahuti oleh umat melalui skop yang terbatas yaitu hanya dalam urusan ibadah mahdhah saja bahkan dalam bidang lain pun berlaku hal yang sama. Demikian juga halnya dengan penyebutan Masjid Al-Haram bukan berarti bahwa masjid-masjid yang lain tidak berkompeten untuk menampung perbedaan-perbedaan yang terjadi.

Kedudukan Masjid ditengah-tengah Umat
Bila Rasulullah diperintahkan menjadikan Masjid Al-Haram sebagai kiblat dalam sholat maka masjid-masjid yang lain pun harus juga dijadikan sebagai “kiblat” dalam kehidupan. Persatuan umat sudah seharusnya dikumandangkan dari masjid dan dari sinilah langkah awal harus dimulai. Dengan kata lain, dimana saja umat ini berdomisili maka masjid harus menjadi bahan perhatian supaya dapat dijadikan sebagai acuan dalam setiap menyusun program. Pentingnya masjid-masjid dijadikan sebagai kiblat kehidupan umat karena keberadaannya masih jauh dari intrik-intrik politik yang membuatnya memiliki wibawa di tengah-tengah umat. Berbagai macam warna masih dapat diterima di dalam masjid dan bahkan sangat berpotensi untuk menyatukannya. Beda halnya dengan organisasi-organisasi sosial keagamaan dimana keberadaannya sudah mulai rentan dengan politik dan bahkan sudah mirip menjadi partai politik meskipun dibalut dengan nama-nama yang lain.

Berdasarkan fenomena ini, nampaknya tidak terlalu berlebihan jika masjid menjadi satu-satunya harapan dan tumpuan untuk mempersatukan umat ini ke depan. Bila moment masjid ini tidak disahuti dengan baik dan benar maka cita-cita untuk membangun ummatan wahidah hanyalah sebatas isapan jempol dan retorika karena umat asyik bermain dengan atribut-atribut yang ada. Harapan yang dilakukan oleh Rasulullah sambil menengadahkan mukanya ke langit sebagaimana disebutkan pada ayat di atas bukan sebatas penentuan hukum tentang sah dan tidak sahnya perbuatan sholat. Jika sebatas ini pengertian yang dapat dipahami, maka percuma saja Rasulullah melakukan hal itu karena kemana sajapun kita menghadap maka Allah pasti ada disitu.

Makna yang tersirat dari perbuatan Rasulullah ini adalah keinginannya yang sangat mendalam untuk menjadikan Masjid Al-Haram sebagai simbol pemersatu umat. Hal ini dapat dipahami melalui kalimat berikutnya dimana para ahl al-kitab memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid Al-Haram adalah benar dari Tuhan, dan karenanya masjid sangat potensial untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Nampaknya upaya yang dilakukan oleh para ahl al-kitab adalah memasang strategi agar umat Islam menjauh dari fungsi masjid atau bahkan tidak peduli dengan masjid. Upaya ini akan terus mereka lakukan karena di penghujung ayat dijelaskan bahwa Allah tidak pernah lengah dari apa yang mereka (ahl al-kitab) kerjakan. Kilas balik dari ujung ayat ini adalah bahwa tidak mustahil jika umat Islam lalai dari perbuatan-perbuatan ahl al-kitab.

Penghujung ayat ini seolah-olah memberitahukan bahwa upaya yang paling efektif untuk memantau dan bahkan menangkis perbuatan ahl al-kitab apabila umat Islam dapat mengoptimalkan fungsi masjid. Pengoptimalan fungsi masjid ini akan menunjukkan bahwa keberadaan masjid dengan umat Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ironisnya, keberadaan masjid yang ada sekarang ini tidak lagi menjadi basis perjuangan umat dalam merealisasikan cita-citanya. Umat sudah berbalik menjadikan organisasi sebagai landasan perjuangan padahal landasan ini secara empiris sudah sangat rapuh karena berbagai kepentingan selalu mewarnai perjalanannya yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan.

Pertikaian antara Hamas dan Fatah di Palestina begitu juga pertikaian antara Sunni dan Syi’i di Irak adalah merupakan contoh barang bahwa perjuangan yang dilandasi oleh suatu organisasi selalu mengalami keropos. Firman Allah di atas “dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah mukamu ke arahnya” mengisyaratkan bahwa masjid jangan diabaikan dalam setiap perjuangan. Kemudian perenungan Rasulullah yang hanya terfokus kepada Masjid Al-Haram dapat juga ditengarai sebagai upayanya untuk mengoptimalkan masjid ini supaya lebih berkualitas bukan mengejar kuantitas. Oleh karena itu ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana antusiasnya Rasulullah untuk menyatukan umat melalui masjid.

Dalam konteks lain bahwa harapan Rasulullah ini dapat juga dipahami sebagai upaya untuk memudahkan internalisasi fungsi masjid kepada sahabat-sahabatnya. Bila selama ini kiblat diarahkan ke Bayt Al-Maqdis maka diyakini bahwa upaya internaliasi sangat sulit untuk dilakukan mengingat letak geografis yang sangat jauh. Di samping itu harapan ini juga mengajarkan bahwa umat tidak boleh terlalu jauh dengan masjid. Dalam haditsnya disebutkan bahwa salah satu yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat adalah orang-orang yang hatinya terpaut di masjid.

Penutup
Tumpuan harapan kita yang terakhir untuk menyatukan umat ini hanyalah masjid karenanya sangat tidak pantas bila ada masjid didirikan hanya untuk kepentingan kelompok seperti sentimen faham dan organisasi. Oleh karena itu sudah saatnya kita mengadakan badan kontak masjid (BKM) agar fungsinya untuk menyatukan umat benar-benar dapat terwujud dan dengan demikian maka keberadaan sebuah masjid adalah tanggung jawab kita bersama.

(Dosen Fak. Tarbiyah IAIN-SU Pengurus El-Misyka Circle) (wns)